Dimana di Wilayah Palu, Sigi dan Donggala yang Aman Dari Gempa dan Tsunami?

Penulis : Taqyuddin, S.Si., M.Hum (Staf Pengajar Geografi FMIPA UI)

Gempa dengan magnitudo 5 – 7,4 skala richter dan diikuti gempa-gempa (kurang dari 5 SR), akhir bulan September 2018 menyengsarakan masyarakat Donggala, Palu dan Sigi. Diperparah dengan Tsunami dan likuifaksi sehingga tingkat korban jiwa (> 1500 jiwa), korban cidera, korban harta dan kerusakan fasilitas pemerintah.

Masyarakat dibuat tidak berdaya untuk menghindari datangnya itu. Pemerintah bersama masyarakat Indonesia bahu membahu untuk meringankan beban, bahkan bantuan Internasional sudah berdatangan untuk penyelamatan, rehabilitasi dan sebagainya.

Belajar dan belajar menghadapi fenomena alam terus menerus tidak bisa dihentikan. Bagaimana mengambil pelajaran peristiwa itu, untuk tetap bisa melangsungkan hidup di daerah yang terdampak gempa dan Tsunami, untuk mengurangi korban dan kerugian? Konsep-konsep penanggulangan bencana sudah sangat bertumpuk, tetapi konsep mencari wilayah aman seakan ikut terkubur likuifaksi. Itu yang selayaknya diperdebatkan secara rinci, detail dan sistematis. Mempelajari wilayah aman dengan detail, maka wilayah-wilayah tidak aman akan termasuk di dalamnya.

Untuk menjawab pertanyaan itu, sangat tidak mudah, tetapi itu pelajaran yang dituntut oleh masyarakat Palu, Sigi dan Donggala. Jika ingin terhindar dari tsunami mungkin bisa dilakukan dengan cepat, dengan prinsip jauh-jauh dari pantai, namun masih ada yang dipertanyakan jika diterapkan di wilayah Donggala yang memiliki jarak lebar tanahnya dari barat ke timur tidak lebih dari 25 km atau sebagi tanah genting di Sulawesi.

Jadi Adakah tempat yang aman untuk melangsungkan hidup di daerah ini? hepotesisnya bisa: 1. Ada 2. tidak ada. (tugas akademik untuk meneliti multi dan lintas disiplin).

Apa saja yang dilakukan jika “ada tempat yang aman” untuk melangsungkan hidup?

Apa saja yang dilakukan jika “tidak ada tempat yang aman” untuk melangsungkan hidup?

Mempermasalahkan ada dan tidak ada tempat aman dari tsunami dan gempa di daerah NKRI membutuhkan kerja keras ilmu multidisiplin dan lintas disiplin.

Mengapa yang tersebar di media sosial, media massa memberitakan wilayah-wilayah bahaya, ancaman, bencana? bahkan hingga detail informasinya. Apakah wilayah bahaya, bencana, ancaman menjadi tujuan pembangunan hingga sedetail itu, tentu tidak, tetapi mengapa waktu tersita, dana tersita, tenaga tersita untuk sibuk yang bukan tujuan pembangunan. Seakan-akan “cari saja sendiri kalau mau aman hidup di Indonesia”.

Bukannya amanat pendiri negara berkeinginan berperikemanusian, perikeadilan, terlindung, bebas merdeka, cerdas, tertib dan damai, makmur dan sejahtera, inilah narasi yang dipilih dan diimplementasikan sedetail-detailnya sebagai cita-cita kedepan (variable continue), mengapa disibukkan dengan yang tidak di narasikan dalam tujuan pembangunan variable-variable discontinue ?

Sebagai analogi jika Anda ingin pintar ya sekolah, Anda dapat menentukan tepat, baik, benar, dan berharga. Apakah untuk pintar yang kita pelajari di sekolah hal-hal sebaliknya misal jangan bergaul dengan koruptor, jangan melanggar hukum, jangan menghina, jangan mem-bully, jangan serakah, atau pelajaran dilarang ini, dilarang itu? narasi larangan, ancaman, bahaya, bencana dan sebagainya dapat membawa mencapai tujuan pembangunan?. Mengapa kita di ajak lebih fasih mengerti bahaya dan bencana, larangan tetapi tidak tahu mana yang tepat, benar, baik dan lebih bermanfaat serta berlanjut perlu direnungkan bersama.

Di luar itu semua, saat ini peristiwa alam yang memberi pelajaran kepada penghuninya perlu dipelajari dan dilakukan pendataannya tidak lain tidak bukan hal ini adalah bagian sebagai perhatian untuk mendukung menemukan pengetahuan, pemahaman fenomena alam yang menenteramkan yaitu menemukan tempat-tempat yang aman untuk melangsungkan hidup dan melanjutkan pembangunan.

Tim pemetaan mahasiswa Geografi FMIPA UI yang tergabung dalam Aksi UI Peduli Palu, langsung menuju lokasi pascagempa dan tsunami di Palu. Mereka terbagi dalam dua tim pemberangkatan, pemberangkatan tim pertama pada tanggal 3-10 Oktober 2018 yakni Anggoro Tri Muldiguno, M. Naufal Fahrisa, Ahmad Fakhruddin, dan Abdurrahman Aslam. Di susul pemberangkatan tim kedua  pada tanggal 10-17 Oktober 2018 yakni Dymas Trisna, Fatur Rahman Aditya Pratama, Tomi Enjeri Siburian dan Muhammad Faris.

Tim ini diharapkan dapat bekerja maksimal dan menghasilkan data terbaru dari rekaman kejadian fenomena alam tersebut dalam bentuk peta. Ini merupakan langkah awal yang sangat dibanggakan, setidaknya menghasilkan peta kerusakan bangunan dan lingkungan serta membantu menentukan jalur yang tepat untuk memudahkan pengiriman logistik bagi para korban yang terisolir agar dapat dipindahkan ke tempat aman sementara (pengungsian).

Pekerjaan ini akan menjadi tuntas jika dapat mendeliniasi tempat-tempat aman untuk melangsungkan kehidupan masyarakat terdampak secara berkelanjutan (tidak atau kecil gangguan pembangunan).