Ahli Kelautan FMIPA UI Ingatkan Bahaya Polusi Mikroplastik : Masalah Serius di Laut Kita

Sejak tahun 2000an, angka produksi plastik di dunia terus mengalami peningkatan. Hal itu banyak terjadi di negara-negara berkembang atau luar Eropa. Di Eropa sendiri memiliki angka produksi plastik yang cenderung stabil. Disisi lain, sekitar 8 juta ton sampah plastik dibuang ke lingkungan laut. Sampah plastik yang dibuang ke laut ini 80% berasal dari pengguaan plastik di daratan, misalnya dari industri, drainase, limbah rumahan, air tercemar yang tidak diproses, dan aktivitas wisata. Sementara 20% sisanya berasal dari aktivitas laut seperti perikanan, transportasi kontainer, feri dan kapal pelayaran, serta aktivitas industri lepas pantai.

Hal itu diungkapkan oleh ahli kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) Dr.rer.nat. Mufti Petala Patria, M. Sc. pada acara Online General Lecture yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Kelautan Departemen Biologi FMIPA UI, Sabtu (4/06/2022).

Melalui presentasi yang berjudul Microplastic in the Ocean: A Serious Problem. Dr. Mufti secara garis besar menitik beratkan pembahasan pada materi plastic overview, plastic in ocean, microplastic in ocean, effects of microplastic in organism, what we can do, dan summarize.

“Plastik seperti yang kita ketahui merupakan organic polymers, bentuknya bermacam-macam, contoh umumnya ada polyethylene (PE), polypropylene (PP), polystyrene (PS), polyvinyl chloride (PVC), dan polyactide (PLA). Plastik sangat bermanfaat untuk manusia. Mengapa? Karena plastik ini kuat, ringan, tahan lama, murah, serta dapat dibentuk sedemikian rupa dengan berbagai metode sehingga banyak produk yang menggunakan plastic,” ungkap Dr. Mufti mengawali materinya.

Contoh plastik polyethylene diantaranya adalah kantong dan botol plastik, dengan masa hidup 2-20 tahun tergantung ketebalannya. Contoh lainnya berupa serat (fibres) dan tekstil dengan masa hidup 5-10 tahun.

Lalu yang termasuk dalam jenis plastik polyvinyl chloride diantaranya pipa dan lantai dengan masa hidup lebih dari 50 tahun. Sedangkan yang tergolong dalam bahan plastik polypropylene adalah tutup botol dan sedotan dengan masa hidup 15 tahun.

Terakhir, contoh plastik polystyrene meliputi peralatan makan plastik, gelas sekali pakai dan wadah makanan yang secara material dapat bertahan lebih dari 10 tahun.

Di lihat dari sisi geografis, terdapat lima pilin laut utama di dunia. Kelima pilin laut itu adalah pilin Samudra Hindia, Pasifik Utara, Pasifik Selatan, Atlantik Utara, dan Atlantik Selatan. Kelima pilin ini memiliki arus laut yang berputar yang kemudian menyebabkan sampah-sampah makro dan mikro di sekitar daratan berkumpul di pusat pilin dan mengancam kelestarian ekosistem serta kehidupan biota laut terutama fauna.

Sementara itu microplastic atau plastik mikro didefinisikan sebagai material plastik yang ukurannya lebih kecil dari 5 milimeter hingga 1 mikron. Tipenya dibagi menjadi empat, tipe pertama merupakan butiran yang berbetuk bulat halus, tipe kedua fragmen yang merupakan pecahan dari plastik makro, tipe selanjutnya yakni tipe film yang sangat tipis bahkan hampir transparan biasanya berasal dari plastik pembungkus, dan tipe terakhir berbentuk serat yang biasanya berasal dari senar pancingan dan serat pakaian.

“Plastik mikro diklasifikasikan menjadi dua, yakni primary microplastic dan secondary microplastic. Maksud dari primary microplastic adalah plastik yang dari pabriknya memang sudah dibuat dalam bentuk plastik mikro, misalnya produk kecantikan, detergen, pelet, dan serat nano pakaian. Sedangkan secondary microplastic merupakan hancuran atau luluhan dari plastik yang besar. Karena sangat kecil, plastik mikro akan terus mengapung di air laut dan tersimpan di sedimen,” ucap Dr. Mufti menjelaskan klasifikasi plastik mikro.

Baik primary maupun secondary keduanya sangat berbahaya bagi makhluk hidup di dalam laut. Sebagaimana diketahui adanya plastik mikro di lautan dapat mengancam keselamatan ekosistem di dalamnya. Misalnya saja fauna yang menganggap plastik mikro sebagai makanannya.

Efek plastik mikro terhadap fauna antara lain adalah cedera fisik pada saluran usus, traslokasi ke jaringan atau organ lain, penurunan berat badan yang signifikan, pengurangan aktivitas makan yang signifikan, penipisan hingga 50% dari cadangan energi, cacat perkembangan, hingga kematian.

Kondisi tersebut menjadi lebih berbahaya jika fauna-fauna itu merupakan produk laut yang dikonsumsi manusia. Hal ini mengakibatkan tubuh manusia lebih mudah terserang dampak buruk dari zat aditif yang masuk jika mengkonsumsi produk laut. Gangguan kesehatan yang muncul bisa beragam, diantaranya perubahan kromosom yang menyebabkan infertilitas, penghambatan system imun, hingga penyakit kanker.

Diakhir sesi, Dr. Mufti mengingatkan untuk bersama-sama mengambil peran penting dalam menjaga laut dari polusi mikroplastik melaui tindakan sederhana namun berdampak signifikan.

“Semua orang dapat melakukan sesuatu untuk mengurangi jumlah masuknya plastik ke laut. Caranya bisa dengan mengurangi pemakaian plastik sekali pakai, mendaur ulang sampah plastik, berpartisipasi dalam pembersihan sungai atau pantai, menghindari manik-manik micro (microbeads), menyebarkan berita, dan mendukung organisasi yang menangani polusi plastik,” ujar dosen biologi FMIPA UI dengan kepakaran Oceanology dan Marine Ecology itu.

“Di lain sisi, kita juga dapat melakukan penelitan sebagai upaya tidak langsung. Penelitian yang bisa dilakukan misalnya kelimpahan mikroplastik di biota, mikroplastik sebagai habitat mikroorganisme, ataupun konsentrasi mikroplastik di air dan sedimen,” imbuhnya sebagai penutup.