Pentingnya Analisis DNA dalam Upaya Pencegahan Kejahatan terhadap Satwa Liar

Rabu (19/12) Departemen Biologi FMIPA UI bekerjasama dengan Wildlife Conservation Society (WCS) dengan dukungan Kedutaan Inggris menyelenggarakan seminar nasional bertema Teknologi Genomik dan Forensik Molekular Satwa Liar di The Margo Hotel, Depok.

Seminar yang digelar hingga Jum’at (21/12) ini sebagai upaya untuk memperkuat riset terkait genetika satwa liar yang dapat mendukung aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus kejahatan terhadap satwa liar.

Dr.rer.nat. Abdul Haris selaku Dekan FMIPA UI secara resmi membuka acara ini, dihadapan 150 orang peserta dan para pembicara nasional dan internasional Ia menyampaikan bahwa penanggulangan perdagangan satwa liar ilegal di Indonesia memerlukan berbagai pendekatan baru, misalnya penggunaan teknologi terkini yakni forensik satwa liar berbasis DNA.

“Penelitian melalui DNA satwa bisa didapatkan dari beberapa sumber seperti darah, rambut, kotoran, urin, tulang, dan juga air liur”. imbuh Haris.

Direktur WCS Indonesia, Noviar Andayani menjelaskan penelitian konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia masih sangat terbatas dan belum menjadi prioritas di lembaga-lembaga penelitian biologi molekuler. Sehingga, seminar ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas ilmuan Indonesia dalam melakukan penelitian genetika stwa liar dan memperbaiki pengelolaan konservasi spesies yang dilindungi secara nasional dan terdaftar di CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna dan Flora) dan terbentuk konsorsium nasional untuk memperkuat riset terkait genetika satwa liar.

Di Indonesia, genetika satwa liar dapat digunakan untuk :

  1. Mengidentifikasi jenis Mengidentifikasi jenis satwa dari bagian tubuh satwa yang disita, seperti empedu, taring, cakar beruang, gading gajah, kuda laut, tulang, taring, dan cakar harimau yang sering disita di Bandar Soekarno Hatta
  2. Mendapatkan data akurat jumlah satwa liar, seperti gajah sumatera di Taman Nasional Way Kambas yang menjadi tempat tinggal 10-17 persen dari populasi seluruh gajah sumatera dan saat ini mendapat ancaman terhadap keberlangsungan populasi akibat perburuan liar.
  3. Memastikan apakah satwa liar yang sulit teridentifikasi, seperti badak sumatera, masih tersisa di habitatnya dan tidak salah teridentifikasi sebagai spesies lain seperti tapir.

Lebih dari itu, teknik-teknik penggunaan analisis DNA juga sangat penting terhadap penegakan hukum terhadap perlindungan satwa liar di Indonesia. Hal ini karena analisis DNA dapat menyediakan data akurat terhadap pengaturan kuota untuk pemanfaatan satwa liar yang berkelanjutan di Indonesia (di bawah PP 8/1999 tentang pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar) dan CITES.

Sehingga melalui teknik DNA ini diharapkan dapat memperkuat penegakan hukum dengan memberi bukti tambahan yang memperberat pelaku pada kasus kejahatan satwa liar ilegal transnasional.

Selain itu dengan melakukan analisis DNA aparat penegak hukum juga dapat menelusuri asal satwa yang diperjualbelikan. Contohnya, gading gajah yang disita di Singapura dan Hongkong setelah ditelusuri asal gajah tersebut melalui analisis DNA dapat diketahui berasal dari populasi gajah di Gabon dan Kongo-Brazaville.

Rob Fenn, Wakil Duta Besar Inggris untuk Indonesia mengapresiasi penuh kegiatan ini, menurutnya sebagai negara megabiodiversitas, pendeteksian berbasis DNA satwa liar memegang peranan penting untuk keberlangsungan konservasi satwa dan keanekaragaman hayati di Indonesia.

“Kami berharap seminar ini menginspirasi banyak pihak untuk terlibat dalam kegiatan konservasi satwa liar di Indonesia dan mendukung penegakan hukum terhadap kasus kejahatan dan perdagangan satwa liar”. tutur Fenn.