Perubahan Undang – Undang Konservasi No.5/90 Harus Mengikuti Arahan Paradigma Baru Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem

Depok 24 Mei 2018 – Institute for Sustainable Science Earth and Resources (I-SER) merupakan lembaga “think tanks” antar disiplin ilmu yang berada dibawah Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Indonesia.  Dalam kiprahnya, pada Kamis 24 Mei 2018, I-SER menyelenggarakan diskusi publik “Mendorong Proses Pembahasan Undang Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya” di Kampus UI, Depok.

Hadir sebagai pembicara dalam acara ini yakni Prof. Dr. Jatna Supriatna (Ketua I-SER), Dr. Sunaryo (Staf Ahli I-SER), Wiratno (Ditjen KSDAE KLHK), Viva Yoga Mauladi (Wakil Ketua Komisi IV DPR RI).

Diskusi publik yang dihadiri oleh lebih dari 50 orang peserta diskusi ini dilatarbelakangi oleh maraknya pemberitaan mengenai kasus kematian Orangutan di Kalimantan, konflik gajah dan manusia di Aceh, dan kasus kasus perdagangan tumbuhan dan satwa liar dengan nilai transaksi yang cukup fantastis.  Menurut Pusat Penelusuran dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), transaksi perdagangan tumbuhan dan satwa liar mencapai lebih dari Rp. 13 triliun per tahun, yang nilai tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Perdagangan illegal tumbuhan dan satwa liar tersebut menjadi kejahatan urutan ketiga tertinggi nilainya setelah narkoba dan perdagangan manusia.

Menurut Dr. Jatna Supriatna, Ketua I-SER, “banyak ancaman nyata terhadap upaya konservasi seperti perambahan kawasan konservasi, perburuan liar satwa bernilai tinggi, pembunuhan/peracunan satwa liar yang dianggap mengganggu kehidupan manusia, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun, serta konversi hutan untuk berbagai kepentingan budidaya, pemukiman, dan pembangunan nasional”.  “Berbagai ancaman dan tekanan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati tersebut, pada dasarnya disebabkan oleh adanya kelemahan dalam tata kelola konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yang salah satunya adalah Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya beserta peraturan pelaksanaannya”, paparnya.

Menurut hasil penelaahan pada ahli di I-SER, Undang-Undang (UU) Konservasi No.5/90 dianggap belum cukup memadai untuk mendorong tercapainya kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya karena memiliki kelemahan-kelemahan seperti pemberian sanksi yang rendah atas pelanggaran pidana, besaran denda yang rendah atas kejahatan terhadap sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, kelembagaan pengelolaan yang lemah, serta input pengelolaan yang rendah.

I-SER beranggapan bahwa saat ini Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional dibidang Konservasi Keanekaragaman Hayati seperti UN Convention on Biodiveristy , Protokol Cartagena, dan Protokol Nagoya, yang mengatur keamanan hayati, akses pemanfaatan, dan benefit sharing dari pemanfaatan keanekaragaman hayati.  Ratifikasi tersebut dapat memaksimalkan manfaat dari keberadaan keanekaragaman hayati yang kita miliki terhadap. Hal ini sesuai dengan amanah dalam Pasal 33 UUD RI yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di Indonesia sudah dimulai sejak Pemerintahan Hindia Belanda dengan menerbitkan daya empat UU yaitu UU Perburuan 1931, Perlindungan Binatang Liar 1931, Perburuan Jawa Madura 1941, dan Perlindungan Alam 1941. UU tersebut digunakan oleh Pemerintah Indonesia sampai dengan diundangkannya UU No.5/90 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.  Materi undang-undang ini dipengaruhi oleh adanya strategi konservasi dunia tahun 1980 dimana konservasi sumber daya alam hayati memiliki tujuan utama untuk melindungi sistem penyangga kehidupan, untuk mengawetkan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya, serta untuk melestarikan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya.

Dr. Jatna Supriatna mengatakan “tentunya materi UU tersebut harus relevan dengan kondisi saat ini. Terdapat paling tidak empat paradigma atau pendekatan upaya konservasi sumber daya alam di dunia, yaitu Critical Social, Traditional, Market Biocentrism, dan Paradigma Baru Konservasi.  Para pihak yang mendorong Paradigma Baru Konservasi menyampaikan bahwa upaya konservasi ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat yang dapat dicapai melalui kerjasama dengan sektor ekonomi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.  “Paradigma baru tersebut merupakan pendekatan baru untuk mencapai tujuan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem dengan menggunakan perangkat kerja ekonomi”, jelasnya kemudian.

Pada kesempatan yang sama Dr. Sunaryo, salah seorang ahli di I-SER menegaskan bahwa “pembahasan UU No. 5/90 ini harus dilakukan pembahasan dengan hati-hati dan melibatkan semua pihak khususnya masyarakat, karena menyangkut tidak hanya kelestarian keanekaragaman hayati tapi juga harus memperhatikan masyakarat Indonesia yang juga sangat bergantung pada kondisi lingkungan yang sehat.  Sehingga perbaikan materi dalam UU ini harus mengarah pada upaya pelestarikan kekayaan alam Indonesia, serta menguntungkan bagi seluruh masyarakat Indonesia, dan mengakomodir kepentingan bangsa-bangsa lainnya di dunia untuk upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem itu sendiri”.

Dr Sunaryo juga mengatakan “penegakan hukum dalam UU No.5/90 ini merupakan bagian yang sangat penting untuk diperkuat agar memberikan efek jera dengan hukuman minimum dan denda yang relevan, terutama memberikan kewenangan jelas bagi para Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sehingga dapat mengurangi tekanan dan ancaman terhadap upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya”.  Disamping itu sinergi pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diantara sektor dan antar pemerintahan akan dapat mengurangi tekanan dan ancaman terhadap kelestarian keanekaragman hayati dan ekosistemnya”, sambungnya kemudian.

Penyempurnaan UU No.5/90 termasuk kedalam daftar prioritas baru tahun 2018 (prolegnas 2018).  Pada 5 Desember 2017,  Badan Legislasi DPR telah dapat menyelesaikan konsep perbaikan UU tersebut.  Selanjutnya Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan kepada Pemerintah pada tanggal 20 Maret 2018.  Presiden menanggapinya melalui surat tertanggal 9 Maret 2018, DPR membahasnya dalam paripurna DPR pada tanggal 20 Maret 2018, yang memberikan mandat kepada komisi 4 DPR untuk memulai pembahasannya.  Sebagai langkah selanjutnya, DPR dan Pemerintah Indonesia akan duduk bersama, meninjau masukan yang diberikan.  Diharapkan agar proses legislasi pembahasan UU ini dilakukan pada masa sidang ini sehingga dapat diselesaikan pada akhir tahun 2018.