Pakar Biologi FMIPA UI Bagikan Pandangan Seputar Dampak Perubahan Iklim Terhadap Konservasi Biodiversitas di Indonesia

Indonesia memiliki kekayaan biodiversitas (keanekaragaman hayati) yang tinggi, sehingga dikenal sebagai mega diversity country. Biodiversitas mengacu pada variasi sumber daya hayati dari tingkat ekosistem, spesies, dan genetik. Kekayaan biodiversitas ini dijaga melalui beragam bentang alam yang berfungsi sebagai habitat alami biodiversitas. Akan tetapi, kondisi perubahan iklim yang terjadi belakangan ini ternyata berdampak pada upaya konservasi biodiversitas.

Pakar di bidang biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) yakni Dr. Nurul L. Winarni, Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed., dan Dr. Windri Handayani, M.Si., turut membagikan pandangannya perihal dampak perubahan iklim bagi konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia, melalui webinar bertajuk “Perubahan Iklim dan Dampaknya pada Konservasi Biodiversitas di Indonesia”, yang diselenggarakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (K3L), Universitas Indonesia (UI), pada 22-23 Agustus 2023. Ketiganya diundang sebagai pembicara kunci dalam kegiatan tersebut.

Pakar biologi lingkungan dan konservasi hidupan liar Dr. Luthfiralda menyebut bahwa konservasi yang dilakukan merupakan usaha pelestarian flora dan fauna yang bertujuan untuk menjaga keberadaan populasi hewan dan tumbuhan di dalam suatu ekosistem.

“Upaya konservasi ini diterapkan di kawasan yang memiliki karakter khas, seperti dihuni spesies langka dan endemik, atau terancam mengalami kepunahan, atau memiliki potensi kegunaan besar jika dilestarikan,” kata Dr. Luthfiralda dalam materi presentasinya.

Selanjutnya mengenai metode yang dapat dilakukan, Dr. Luthfiralda menjelaskan ada dua metode konservasi sumber daya alam, yaitu metode in-situ dan ex-situ. Konservasi in-situ adalah kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di dalam kawasan habitat asli, seperti kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) atau kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam). Sementara itu, konservasi ex-situ adalah kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan di luar kawasan, misalnya kebun raya, kebun binatang, atau taman safari.

Menurut Dr. Windri, Indonesia sebagai salah satu wilayah dengan tingkat biodiversitas tertinggi di dunia memegang peranan penting dalam melestarikan berbagai jenis flora yang terancam punah, khususnya jika flora tersebut bersifat endemik dan sulit dijumpai di wilayah lain.

“Setidaknya terdapat dua nilai biodiversitas yang ada pada flora, yaitu nilai yang terlihat (pengobatan, pertanian, ekoturisme) dan nilai yang tidak terlihat (regulasi iklim, mencegah erosi tanah, menyediakan air bersih). Oleh karena itu, pemanfaatan flora di Indonesia harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip konservasi guna menjamin keberlanjutan spesies flora yang dikomersialisasi,” ujar Dr. Windri yang merupakan pakar ekofisiologi tumbuhan dan metabolomiks lingkungan.

Dr. Windri menambahkan bahwa ada dua strategi kunci guna menghadapi perubahan iklim, yaitu mitigasi untuk mengurangi laju perubahan iklim dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca, dan adaptasi yakni membantu alam dan komunitas manusia beradaptasi terhadap perubahan iklim yang sudah terjadi

Tidak hanya flora, konservasi juga diperlukan untuk mempertahankan kelestarian fauna. Dr. Nurul melihat bahwa ada dampak yang sangat signifikan dari adanya perubahan iklim terhadap biodiversitas flora dan fauna. Perubahan iklim mengancam hilangnya habitat satwa, perubahan distribusi tumbuhan dan satwa, perubahan kelimpahan, serta perubahan fenologi (berbiak, migrasi, dan sebagainya).

Pakar konservasi biodiversitas tersebut memberi contoh dampak kasus deforestasi. Deforestasi menyebabkan perubahan curah hujan dan memperbesar peluang terjadinya kebakaran hutan. Hal ini karena tanaman yang berfungsi melindungi hutan dari panas matahari hilang, sehingga terjadi kekeringan. Jika hutan mengalami kebakaran hebat, berbagai jenis fauna akan kehilangan habitatnya sehingga mereka akan melakukan migrasi ke tempat lain.

“Distribusi spesies tumbuhan dan hewan yang masif tersebut turut mengubah karakteristik bioma serta struktur dan fungsi ekosistem, sehingga persediaan oksigen, air bersih, makanan, obat-obatan, dan perlindungan terhadap bencana pun berubah,” kata Dr. Nurul.

Relasi perubahan iklim terhadap seluruh aspek kebutuhan manusia ini berkaitan erat dengan poin-poin yang ada dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Climate Action yang ada di poin 13 SGDs ternyata berpengaruh pada poin SDGs lainnya, yaitu poin ke-2 Zero Hunger, poin ke-3 Good Health and Well-Being, poin ke-6 Clean Water and Sanitation, poin ke-7 Affordable and Clean Energy, poin ke-14 Life Below Water, serta poin ke-15 Life on Land.