Prof. Jatna Supriatna Sampaikan Peran Universitas Hubungkan Sistem Pengetahuan Masyarakat dan Ilmu Pengetahuan Multi-Inter-Trans Disiplin Demi Keberlanjutan

Depok, 3 Februari 2024. Universitas Indonesia (UI) melaksanakan Sidang Terbuka Peringatan Dies Natalis ke-74 kemarin di Balai Sidang, Kampus UI, Depok. Tema Dies Natalis UI tahun ini adalah “Sinambung Membangun Indonesia Lestari”, merepresentasikan UI sebagai institusi pendidikan yang menaruh perhatian besar terhadap isu-isu lingkungan dan keberlanjutan sesuai dengan poin-poin penting yang terdapat dalam SDGs. Untuk itu, UI menghadirkan tokoh yang dianggap sebagai “begawan lingkungan hidup”, yakni Prof. Dr. Jatna Supriatna, Msc., pengajar dan scientist dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FIMIPA) UI. Ia menyampaikan pidato orasi ilmiah terkait tinjauannya dari perspektif ilmu konservasi dan keberlanjutan. Acara ini menjadi pembuka rangkaian peringatan dies natalis yang puncaknya akan dilaksanakan pada 21 Februari mendatang.

Mengawali orasinya, Prof. Jatna memberikan gambaran tentang tiga spesies Orang Utan di Indonesia, yaitu Pongo abelli, Pongo tapanuliensis, dan Pongo pygmaeus. Ketiganya merupakan spesies utama dari Indonesia karena hanya ada di Indonesia. Selain itu, Indonesia juga merupakan negara kepulauan dan berlokasi di daerah tropis yang mempunyai luas hutan tropis terluas nomor tiga di dunia. Indonesia juga memiliki pesisir nomor dua terpanjang di dunia dengan luas laut (70%) dan jumlah daratan (30%), berupa pulau yang sangat banyak (>17.000). Prof. Jatna mengatakan, potensi keanekaragaman hayati yang luar biasa ini harus dijadikan aset untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia.

Populasi manusia yang terus bertambah dan segala kegiatannya telah menciptakan kerusakan di bumi, seperti pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca (GRK), polusi lingkungan akibat bahan berbahaya dan beracun, serta kehilangan keanekaragaman hayati. Dalam paparannya, Prof. Jatna menyebutkan bahwa tahun 2023 merupakan tahun terpanas di dunia dan lima tahun terakhir adalah suhu terpanas dalam sejarah sejak 1850. Tahun ini, suhu bumi sudah mencapai rerata 2 dibanding ℃ dengan preindustrial dan diperkirakan suhu bumi lebih meningkat lagi di tahun-tahun berikutnya.

Ia menjelaskan, kenaikan 1 dapat mencairkan es di kutub dan membahayakan eksistensi sejumlah ℃ satwa. Kemudian, jika bumi mengalami kenaikan 2 , maka dapat melenyapkan 40% hutan hujan yang ℃ berakibat pada menipisnya cadangan makanan hewan. Selanjutnya, pada kenaikan 3 , pepohonan ℃ tidak lagi sanggup menahan karbondioksida dan kota-kota besar akan dipenuhi oleh polusi. “Jika terjadi kenaikan 5 , saya kira bumi tidak lagi layak dihuni. Jadi, kita harus mampu mengerem, agar ℃ tidak terus meningkat,” kata Prof. Jatna.

Krisis bumi selanjutnya adalah kehilangan keanekaragaman hayati yang sangat serius, baik dalam jumlah maupun kualitas habitatnya. Hilangnya keanekaragaman hayati disebabkan oleh adanya berbagai kegiatan manusia. Manusia menjadi pusat dari segala sumber persoalan krisis lingkungan hidup dan ancaman terhadap kelestarian sumber daya hayati. Oleh karena itu, persoalan konservasi sumber daya hayati bukan hanya persoalan teknis biologis saja, melainkan juga persoalan sosial budaya.

Lebih lanjut, Prof. Jatna memaparkan krisis bumi lainnya adalah polusi kimia, plastik, air, dan udara. Polusi lingkungan terjadi di setiap sudut bumi, polutan terakumulasi di lingkungan dan mengakibatkan gangguan bagi habitat yang terus terjadi hingga saat ini. Polutan tidak hanya berdampak kepada lingkungan abiotik, tetapi juga berdampak kepada lingkungan biotik. Untuk itu, selain hanya beradaptasi dengan berbagai krisis lingkungan, Prof. Jatna mengatakan salah satu mitigasi perubahan iklim adalah dengan pengembangan perdagangan karbon, baik berupa green dan blue economy maupun melalui bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dan program dekarbonisasi serta teknologi lain yang terbaru (hydrogen, nuklir dan lainnya) dan untuk mencapai Net Zero Emission lebih cepat dari yang sudah dijanjikan.

“Kita di universitas berkewajiban untuk mengkaji secara ilmiah terhadap berbagai trade off dalam penggunaan lahan, pemanfaatan keanekaragaman hayati, dampak dari perubahan iklim, serta kebijakan dan pengelolaan terkait hutan dan laut. Oleh karena itu, kita di universitas mempunyai tugas untuk memberdayakan dan menyatukan berbagai aktor pembangunan, serta menghubungkan sistem pengetahuan masyarakat di tingkat tapak dengan ilmu pengetahuan yang multi-inter-trans disiplin di perguruan tinggi agar dapat meningkatkan tata kelola sumber daya alam demi keberlanjutan pembangunan yang inklusif,” ujar Prof. Jatna.

Sementara itu, dalam sambutan pembukaannya, Rektor UI Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D., juga mengajak para sivitas akademika UI untuk memelihara bumi, dedikasikan ilmu, dan menjaga martabat Universitas Indonesia. Di usia UI yang ke-74, Prof. Ari mengatakan, jika diibaratkan manusia, usia ini sudah termasuk manula, usia produktif sudah lama ditinggalkan, dan tinggal menikmati sisa hidup.

“Namun, bagi institusi Pendidikan seperti Universitas Indonesia, usia yang semakin matang mencerminkan seberapa jauh perjalanan yang sudah dilalui, juga seberapa besar arti pencapaian yang kita raih bagi Indonesia,” ujar Prof. Ari.