Pakar Biologi FMIPA UI : Manfaatkan Potensi Keanekaragaman Hayati untuk Memacu Perekonomian

Semua pemangku kepentingan di Indonesia diserukan untuk saling berkolaborasi untuk mengoptimalkan potensi keanekaragaman hayati yang sangat besar sebagai penggerak perekonomian, kesejahteraan masyarakat, sekaligus juga sebagai modal untuk memperkuat konservasi.

Demikian disampaikan oleh Guru Besar Bilogi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI) Prof. Dr. Jatna Supriatna, M.Sc. saat memberikan kuliah tunggal Widjojo Nitisastro Memorial Lecture (WMNL) 2022,  yang merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Jadi Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang ke-32 di Auditorium Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Kamis, 13 Oktober 2022.

Dalam acara yang dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI ke-11 Profesor Boediono itu beliau menyampaikan diperkirakan ada 300 ribu jenis satwa liar ada di Indonesia,  mencapai 17% dari seluruh satwa yang ada di dunia. Padahal, luas Indonesia hanya 1,3% dari luas dunia.

Satwa Indonesia juga sangat unik karena berasal dari benua Asia dan Australia serta peralihan 2 sehingga ada kawasan yang disebut Wallacea dimana satwanya campuran.

“Ini adalah anugerah yang harus dikelola dan dimanfaatkan,” kata Prof. Jatna dikutip dari https://forestinsights.id/.

Salah satu cara yang bisa dilakukan misalnya dengan mengembangkan ekowisata berbasis keanekaragaman hayati.

Hal ini sudah dilakukan di beberapa titik. Misalnya wisata melihat orangutan habitat aslinya seperti di Taman Nasional Tanjung Puting, Taman Nasional Gunung Palung, Taman Nasional Leuser bahkan yang dikelola oleh masyarakat di Tangkahan Sumatera Utara.

Setiap wisatawan harus membayar tarif sekitar 60-100 dolar AS per hari kunjungan dengan biaya paket wisata bisa mencapai 2.500 dolar AS per kunjungan dengan amenitas, tranportasi dan pemondokan.

“Keanekaragaman hayati seharusnya jangan dilihat sebagai penghalang tapi sebagai opportunitas, Di Rwanda, tarif melihat gorila mencapai 120 dolar AS sementara di Malaysia tarif melihat orangutan  juga di atas 100 dolar AS,” kata Prof. Jatna.

“Indonesia juga harus bisa memanfaatkan karena kita punya (spesies) primata paling banyak nomor 3 di dunia selain kita mempunyai 3 spesies orangutan,” kata Prof. Jatna yang namanya diabadikan pada salah satu primata yaitu Tarsius supriatnai yang berada di provinsi Gorontalo.

Menurutnya dengan memanfaatan potensi keanekaragaman hayati berarti perekonomian akan bergerak dan dana yang dibutuhkan untuk melestarikan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati akan tersedia lebih banyak.

Beliau mengajak para ahli biologi di Indonesia untuk turut bersinergi dengan pakar ilmu ekonomi dalam upaya mencari peluang pemanfaatan keanekaragaman hayati untuk perekonomian demi kelestarian.

Beliau memperingatkan, jika kelestarian keanekaragaman hayati tergangggu maka kestabilan dan keseimbangan ekosistem akan goyah yang bisa berdampak buruk pada manusia.

Prof. Jatna memberi contoh pada peningkatan konsumsi kalong di Sulawesi. Jika dulu sumber pasokan kalong hanya di Sulawesi Utara, kini kalong harus dicari hingga ke seluruh dataran Sulawesi.

“Padahal kalong adalah inang yang baik untuk penyakit zoonosis, termasuk Covid,” imbuhnya.